Senin, 16 November 2009

Aspek Hukum dan Regulasi dalam Asuhan Keperawatan

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Undang – undang praktik keperawatan sudah lama menjadi bahan diskusi para perawat. PPNI pada kongres Nasional keduanya di Surabaya tahun 1980 mulai merekomendasikan perlunya bahan-bahan perundang-undangan untuk perlindungan hukum bagi tenaga keperawatan. Tidak adanya undang-undang perlindungan bagi perawat menyebabkan perawat secara penuh belum dapat bertanggung jawab terhadap pelayanan yang mereka lakukan. Tumpang tindih antara tugas dokter dan perawat masih sering terjadi dan beberapa perawat lulusan pendidikan tinggi merasa frustasi karena tidak adanya kejelasan tentang peran, fungsi dan kewenangannya. Hal ini juga menyebabkan semua perawat dianggap sama pengetahuan dan ketrampilannya, tanpa memperhatikan latar belakang ilmiah yang mereka miliki.

12 Mei 2008 adalah Hari Keperawatan Sedunia. Di Indonesia, momentum tersebut akan digunakan untuk mendorong berbagai pihak mengesahkan Rancangan Undang-Undang Praktik keperawatan. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) menganggap bahwa keberadaan Undang-Undang akan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat terhadap pelayanan keperawatan dan profesi perawat. Indonesia, Laos dan Vietnam adalah tiga Negara ASEAN yang belum memiliki Undang-Undang Praktik Keperawatan. Padahal, Indonesia memproduksi tenaga perawat dalam jumlah besar. Hal ini mengakibatkan kita tertinggal dari negara-negara Asia, terutama lemahnya regulasi praktik keperawatan, yang berdampak pada sulitnya menembus globalisasi. Perawat kita sulit memasuki dan mendapat pengakuan dari negara lain, sementara mereka akan mudah masuk ke negara kita.

Masih perlukah kita mempertanyakan lagi, apakah harus ada Undang Undang Praktik Keperawatan di bumi pertiwi ini? Jawaban dari pertanyaan yang amat mendasar, apakah masyarakat Indonesia mempunyai hak untuk menerima pelayanan keperawatan yang bermutu, adalah jawaban untuk memastikan bahwa Undang Undang Praktik Keperawatan, terlalu terlambat untuk disahkan, apalagi untuk dipertanyakan. Sementara negara negara ASEAN seperti Philippines, Thailand, Singapore, Malaysia, sudah memiliki Undang Undang Praktik Keperawatan (Nursing Practice Acts) sejak puluhan tahun yang lalu.

Mereka siap untuk melindungi masyarakatnya dan lebih lebih lagi siap untuk menghadapi globalisasi perawat asing masuk ke negaranya dan perawatnya bekerja di negara lain. Ketika penandatanganan Mutual Recognition Arrangement di Philippines tahun 2006, posisi Indonesia sama dengan Vietnam, Laos dan Myanmar.., yang belum memiliki Konsil Keperawatan. Memprihatinkan.....!!! Sangat wajar, jika PPNI pada Rakernas II di Semarang mendeklarasikan ”Gerakan Nasional: Sukseskan Undang Undang Praktik Keperawatan”. Gerakan Nasional ini menggunakan momentum International Nurses Day, 12 Mei 2008, sebagai Hari Kebangkitan Perawat Indonesia. Bangkitlah Perawat Indonesia....berikan yang terbaik bagi masyarakat Indonesia. Bersama Perawat, Masyarakat Sehat...!!! ”

B. TUJUAN

Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui masalah-masalah RUU praktik keperawatan.

* Mengetahui definisi dan tujuan praktik keperawatan

* Mengetahui pentingnya Undang-undang Praktik Keperawatan

* Untuk meningkatkan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan

* Mengetahui isi Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktik keperawatan

* Mengetahui tujuan dan komponen regulasi dalam praktik keperawatan

C. METODE

Dalam pembuatan makalah ini,metode yang digunakan adalah metode deskriftif yang mencangkup pengumpulan buku dan literature serta diskusi kelompok.

D. SISTEMATIKA

Adapun sistematika pada penyusunan makalah ini adalah :

BAB I Pendahuluan

BAB II Konsep Dasar

BAB III Pembahasan

BAB III Penutup

DAFTAR PUSTAKA


BAB II

KONSEP DASAR ASPEK HUKUM DAN UNDANG-UNDANG

YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPERAWATAN

A. PENTINGNYA UNDANG-UNDANG PRAKTIK KEPERAWATAN

Ada beberapa alasan mengapa Undang-Undang Praktik Keperawatan dibutuhkan. Pertama, alasan filosofi. Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hokum (WHO, 2002).

Kedua, alasan yuridis. UUD 1945, pasal 5, menyebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian Juga UU Nomor 23 tahun 1992, Pasal 32, secara eksplisit menyebutkan bahwa pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan atau ilmu keperawatan, hanya dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Sedang pasal 53, menyebutkan bahwa tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. Ditambah lagi, pasal 53 bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Disisi lain secara teknis telah berlaku Keputusan Menteri Kesehatan Nomor1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat.

Ketiga, alasan sosiologis. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan semakin meningkat. Hal ini karena adanya pergeseran paradigma dalam pemberian pelayanan kesehatan, dari model medikal yang menitikberatkan pelayanan pada diagnosis penyakit dan pengobatan, ke paradigma sehat yang lebih holistik yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai fokus pelayanan (Cohen, 1996).

Disamping itu, masyarakat membutuhkan pelayanan keperawatan yang mudah dijangkau, pelayanan keperawatan yang bermutu sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan, dan memperoleh kepastian hukum kepada pemberian dan penyelenggaraan pelayanan keperawatan. Keperawatan merupakan salah satu profesi dalam dunia kesehatan . Sebagai profesi, tentunya pelayanan yang diberikan harus professional, sehingga perawat/ners harus memiliki kompetensi dan memenuhi standar praktik keperawatan, serta memperhatikan kode etik dan moral profesi agar masyarakat menerima pelayanan dan asuhan keperwatan yang bemutu.

Berdasarkan hasil kajian (Depkes & UI, 2005) menunujukkan bahwa terdapat perawat yang menetapkan diagnosis penyakit (92,6%), membuat resep obat (93,1%), melakukan tindakan pengobatan didalam maupun diluar gedung puskesmas (97,1%), melakukan pemeriksaan kehamilan (70,1%), melakukan pertolongan persalinan(57,7%), melaksanakan tugas petugas kebersihan (78,8%), dan melakukan tugas administrasi seperti bendahara,dll (63,6%).

Pada keadaan darurat seperti ini yang disebut dengan “gray area” sering sulit dihindari. Sehingga perawat yang tugasnya berada disamping klien selama 24 jam sering mengalami kedaruratan klien sedangkan tidak ada dokter yang bertugas. Hal ini membuat perawat terpaksa melakukan tindakan medis yang bukan merupakan wewenangnya demi keselamatan klien. Tindakan yang dilakukan tanpa ada delegasi dan petunjuk dari dokter, terutama di puskesmas yang hanya memiliki satu dokter yang berfungsi sebagai pengelola puskesmas, sering menimbulkan situasi yang mengharuskan perawat melakukan tindakan pengobatan. Fenomena ini tentunya sudah sering kita jumpai di berbagai puskesmas terutama di daerah-daerah tepencil. Dengan pengalihan fungsi ini, maka dapat dipastikan fungsi perawat akan terbengkalai. Dan tentu saja ini tidak mendapat perlindungan hukum karena tidak dipertanggungjawabkan secara professional.

Pada tahun 1989, PPNI sebagai organisasi perawat di Indonesia mulai memperjuangkan terbentuknya UU Keperawatan. Berbagai peristiwa penting terjadi dalam usaha mensukseskan UU Keperawatan ini. Pada tahun 1992 disahkanlah UU Kesehatan yang didalamnya mengakui bahwa keperawatan merupakan profesi ( UU Kesehatan No.23, 1992). Peristiwa ini penting artinya, karena sebelumnya pengakuan bahwa keperawatan merupakan profesi hanya tertuang dalam peraturan pemerintah (PP No.32, 1996). Dan usulan UU Keperawatan baru disahkan menjadi RUU Keperawatan pada tahun 2004.

Perlu kita ketahui bahwa untuk membuat suatu undang-undang dapat ditempuh dengan 2 cara yakni melalui pemerintah (UUD 1945 Pasal 5 ayat 1) dan melalui DPR (Badan Legislatif Negara). Selama hampir 20 tahun ini PPNI memperjuangkan RUU Keperawtan melalui pemerintah, dalam hal ini Depkes RI. Dana yang dikeluarkan pun tidak sedikit. Tapi kenyataannya hingga saat ini RUU Keperawatan berada pada urutan 250-an pada program Legislasi Nasional (Prolegnas) , yang ada pada tahun 2007 berada pada urutan 160 (PPNI, 2008).

Tentunya pengetahuan masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan mutlak diperlukan. Hal ini terkait status DPR yang merupakan Lembaga Perwakilan Rakyat, sehingga pembahasan-pembahasan yang dilakukan merupakan masalah yang sedang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, pencerdasan kepada masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan pun masuk dalam agenda DPR RI.

Dalam UU Tentang praktik keperawatan pada bab 1 pasal 1 yang ke-3 berbunyi :

“ Asuhan keperawatan adalah proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan baik langsung atau tidak langsung diberikan kepada sistem klien disarana dan tatanan kesehatan lainnya, dengan menggunakan pendekatan ilmiah keperawatan berdasarkan kode etik dan standar pratik keperawatan.

Dan pasal 2 berbunyi :

“ Praktik keperawatan dilaksanakan berdasarkan pancasila dan berdasarkan pada nilai ilmiah, etika dan etiket, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan dan perlindungan serta keselamatan penerima dan pemberi pelayanan keperawatan.

B. UNDANG-UNDANG YANG BERKAITAN DENGAN PRAKTIK KEPERAWATAN

Undang-undang praktik keperawatan sudah lama menjadi bahan diskusi para perawat. PPNI pada kongres Nasional ke duanya di Surabaya tahun 1980 mulai merekomendasikan perlunya bahan-bahan perundang-undangan untuk perlindungan hukum bagi tenaga keperawatan. Tidak adanya Undang-Undang perlindungan bagi perawat menyebabkan perawat secara penuh belum dapat bertanggung jawab terhadap pelayanan yang mereka lakukan. Tumpang tindih antara tugas dokter dan perawat masih sering tejadi dan beberapa perawat lulus pendidikan tinggi merasa prustasi karena tidak adanya kejelasan tentang peran, fungsi dan kewenangannya. Hal ini juga menyebabkan semua perawat dianggap sama pengetahuan dan ketrampilannya, tanpa memperhatikan latar belakang ilmiah yang mereka miliki.

UU dan peraturan lainnya yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktek keperawatan :

1. UU No. 9 tahun 1960, tentang pokok-pokok kesehatan

Bab II (tugas Pemerintah), pasal 10 antara lain menyebutkan bahwa pemerintah mengatur kedudukan hukum, wewenang dan kesanggupan hukum.

2. UU No. 6 tahun 1963 tentang tenaga kesehatan

UU ini merupakan penjabaran dari UU No. 9 tahun 1960. UU ini membedakan tenaga kesehatan sarjana dan bukan sarjana. Tenaga sarjana meliputi dokter, doter gigi dan apoteker. Tenaga perawat termasuk dalam tenaga bukan sarjana atau tenaga kesehatan dengan pendidikan rendah, termasuk bidan dan asisten farmasi dimana dalam menjalankan tugas dibawah pengawasan dokter, dokter gigi dan apoteker. Pada keadaan tertentu kepada tenaga pendidik rendah dapat diberikaqn kewenangan terbats untuk menjalankan pekerjaannya tanpa pengawasan langsung.

UU ini boleh dikatakan sudah using karena hanya mengklaripikasikan tenaga kesehatan secara dikotomis (tenaga sarjana dan bukan sarjana). UU ini juga tidak mengatur landasan hukum bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan pekerjaannya. Dalam UU ini juga belum tercantum berbagai jenis tenaga sarjana keperawatan seperti sekarang ini dan perawat ditempatkan pada posisi yang secara hukum tidak mempunyai tanggung jawab mandiri karena harus tergantung pada tenaga kesehatan lainnya.

3. UU kesehatan No. 14 tahun 1964, tentang wajib keja paramedis

Pada pasal 2,ayat (3) dijelasakan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah wqajib menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama 3 tahun. Dalam pasal 3 dihelaskan bahwa selama bekerja pada pemerintah, tenaga kesehatan yang dimaksut pada pasal 2 memiliki kedudukan sebagain pegawai negeri sehingga peraturan-peraturan pegawai negeri juga diberlakukan terhadapnya. UU ini untuk saat ini sudah tidak sesuai dengan kemampuan pemerintah dalam mengangkat pegawai negeri. Penatalaksanaan wajib kerja juga tidak jelas dalam UU tersebut sebagai contoh bagai mana sisitem rekruitmen calon pesrta wajib kerja, apa sangsinya bila seseorang tidak menjalankaqn wajib kerja dll. Yang perlu diperhatikan dalam UU ini,lagi posisi perawat dinyatakan sebagai tenaga kerja pembantu bagi tenaga kesehatan akademis termasuk dokter, sehingga dari aspek propesionalisasian, perawat rasanya masih jauh dari kewenangan tanggung jawab terhadap pelayanannya sendiri.

4. SK Menkes No. 262/per/VII/1979 tahun 1979

Membedakan para medis menjadi dua golongan yaitu paramedic keperawatan (termasuk bidan) dan paramedic non keperawata. Dari aspek hukum, sartu hal yang perlu dicatat disini bahwa tenaga bidan tidak lagi terpisah tetapi juga termasuk kategori tenaga keperawatan.

5. Permenkes. No. 363/ Menkes/ per/XX/1980 tahun 1980

Pemerintah membuat suatu pernyataan yang jelas perbedaan antara tenaga keperawatan dan bidan. Bidan seperti halnya dokter, diizinkan mengadakan praktik swasta, sedangkan tenaga keperawatan secara resmi tidak diizinkan. Dokter dapat membuka praktik swasta untuk mengobati orang sakit dan bidan dapat menolong persalinan dan pelayanan KB. Peraturan ini boleh dikatakan kurang relevan atau adil bagi propesi keperawatan. Kita ketahuai Negara lain perawat diizinkan membuka praktik swasta. Dalam bidang kuratif banyak perawat harus menggantikan atau mengisi kekujrangan tenaga dokter untuk mengobati penyakit terutam dipuskesmas- puskesmas tetapi secara hukum hal tersebut tidak dilindungi terutama bagi perawat yang memperpanjang pelayanan dirumah. Bila memang secara resmi tidak diakui, maka seharusnya perawat dibebaskan dari pelayanan kuratif atau pengobatan untuk benar-benar melakuan nursing care.

6. SK Mentri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 94/Menpan/ 1986,tanggal 4 Nopember 1989, tentang jabatan fungsional tenaga keperawatan dan system kredit poin.

Dalam system ini dijelaskan bahwa tenaga keperawatan dapat naik jabatannya atau naik pangkatnya setiap 2 tahun bila memenuhi angka kredit tertentu. Dalam SK ini, tenaga keperawatan yang dimaksud adalah : penyenang kesehatan, yang sudah mencapai golongan II/a, Pengatur Rawat/ Perawat Kesehatan/Bidan, Sarjana Muda/D III Keperawatan dan Sarjana/S I Keperawatan.

System ini menguntungkan perawat karena dapat naik pangkatnya dan tidak tergantung kepada pangkat/ golongan atasannya

7. UU kesehatan No. 23 tahun 1992

Merupakan UU yang banyak member kesempatan bagi perkembangan termasuk praktik keperawatan professional karena dalam UU ini dinyatakan tentang standar praktik, hak-hak pasien, kewenangan, maupun perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk keperawatan.

Beberapa pernyataan UU kes. No. 23 Th. 1992 yang dapat dipakai sebagai acuan pembuatan UU praaktik keperawatan adalah :

a. Pasal 32 ayat 4

Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan, hanya dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.

b. Pasal 53 ayat I

Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesui dengan profesinya.

c. Pasal 53 ayat 2

Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.

C. UNDANG-UNDANG YANG BERHUBUNGAN DENGAN KESEHATAN

1. Undang – Undang No.23 tahun 1992 tentang kesehatan

Pasal 32

(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan keschatan diselenggarakan untuk mengembalikan status kesehatan akibat penyakit, mengembalikan fungsi badan akibat cacat atau menghilangkan cacat.

(2) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan pengobatan dan atau perawatan.

(3) Pengobatan dan atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan.

(4) Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.

Pasal 50

(1) Tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bcrsangkutan.

Pasal 53

(1) Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.

(2) Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.

Pasal 54

(1) Terhadap tenaga keschatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian data melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.

(2) Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kalalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.

Pasal 55

(1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.

2. PP no.32 tahun 1996 tentang kesehatan

Pasal 4

(1) Tenaga kesehatan hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah tenaga kesehatan yang bersangkutan memiliki ijin dari Menteri.

3. KepMenKes No.1239/2001 tentang Registrasi dan Praktik Keperawatan

Bab III

Pasal 8

(1) Perawat dapat melaksanakan praktik keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan, praktik perorangan dan atau kelompok.

(2) Perawat dalam melaksanakan praktik keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan harus memiliki SIK.

(3) Perawat dalam melaksanakan praktik perorangan / berkelompok harus memiliki SIIP.

Bab IV

Pasal 15

Perawat dalam melaksanakan praktik keperawatan berwenang untuk :

(1) Melaksanakan asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan.

(2) Tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud pada butir a meliputi : intervensi keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan konseling kesehatan.

(3) Dalam melaksanakan asuhan keperawatan sebagaimanadimaksud huruf a dan b harus sesuai dengan standart asuhan keperawatan yang ditetapkan oleh organisasi profesi.

(4) Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari dokter

Pasal 17

Perawat dalam melaksanakan praktik keperawatan harus sesuai dengan kewenangan yang diberikan, berdasarkan pendidikan dan pengalaman serta dalam memberikan pelayanan berkewajiban mematuhi standar profesi.

Pasal 20

(1) Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa seseorang / pasien, perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15.

(2) Pelayanan dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk penyelamatan jiwa.


BAB III

PEMBAHASAN MASALAH

A. MALPRAKTIK

Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”,sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.

Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).

B. BEBERAPA MASALAH HUKUM DAN PRAKTIK KEPERAWATAN

Berbagai masalah hukum dalam praktik keperawatan telah diidentifikasi oleh para ahli. Beberapa masalah yang dibahas secara singkat disini meliputi :

· Menandatangani Pernyataan Hukum

Perawat seringkali diminta menandatangi atau diminta untuk sebagai saksi. Dalam hal ini perawat hendaknya tidak membuat pernyataan yang dapat diinterprestasikan menghilangkan pengaruh. Dalam kaitan dengan kesaksian perawat disarankan mengacu pada kebijakan rumah sakit atau kebijakan dari atasan.

· Format Persetujuan (Consent)

Berbagai format persetujuan disediakan oleh institusi pelayanan dalam bentuk yang cukup bervariasi. Beberapa rumah sakit memberikan format persetujuan pada awal pasien masuk rumah sakit yang mengandung pernyataan kesanggupan pasien untuk dirawat dan menjalani pengobatan. Bentuk persetujuan lain adalah format persetujuan operasi. Perawat dalam proses persetujuan ini biasanya berperan sebagai saksi. Sebelum informasi dari dokter ahli bedah atau perawat tentang tindakan yang akan dilakukan beserta resikonya.

· Insident Report

Setiap kali perawat menemukan suatu kecelakaan baik yang mengenai pasien, pengunjung maupun petugas kesehatan, perawat harus segera membuat suatu laporan tertulis yang disebut incident report. Dalam situasi klinik, kecelakaan sering terjadi misalnya pasien jatuh dari kamar mandi, jarinya terpotong oleh alat sewaktu melakuakan pengobatan, kesalahan memberikan obat dan lain-lain. Dalam setiap kecelakaan, maka dokter harus segera diberi tahu.

Beberapa rumah sakit telah menyediakan format untuk keperluan ini. Bila format tidak ada maka kejadian dapat ditulis tanpa menggunakan format buku. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pencatatan incident report antara lain :

- tulis kejadian sesuai apa adanya

- tulis tindakan yang anda lakukan

- tulis nama dan tanda tangan anda dengan jelas

- sebutkan waktu kejadian ditemukan

· Pencatatan

Pencatatan merupakan kegiatan sehari-hari yang tidak lepas dari asuhan keperawatan yang dilakukan oleh perawat. Pencatatan merupakan salah satu komponen yang penting yang memberikan sumber kesaksian hukum. Betapapun mahirnya keterampilan anda dalam memberikan perawatan, jika tidak dicatat atau dicatat tetapi tida lengkap, tidak dapat membantu dalam persidangan. Setiap selesai melakukan suatu tindakan maka perawat harus segera mencatat secara jelas tindkan yang dilakukan dan respon pasien terhadap tindakan serta mencantumkan waktu tindakan diberikan dan tanda tangan yang memberikan tindakan.

· Pengawasan Penggunaan Obat

Pemerintah Indonesia telah mengatur pengedaran dan penggunaan obat. Obat ada yang dapat dibeli secara bebas dan ada pula yang dibeli harus dengan resep dokter. Obat-obat tersebut misalnya narkotik disimpan disimpan ditempat yang aman dan terkunci dan hanya oprang-orang yang berwenang yang dapat mengeluarkannya. Untuk secara hukum hanya dapat diterima dalam pengeluaran dan penggunaan obat golongan nartkotik ini, perawat harus selalu memperhatikan prosedur dan pncatatan yang benar.

· Abortus Dan Kehamilan Diluar Secara Alami

Abortus merupakan pengeluaran awal fetus pada periode gestasi sehingga fetus tidak mempunya kekuatan untuk bertahan hidup. Abortus merupakan tindakan pemusnahan yang melanggar hukum, atau menyebabkan lahir prematur fetus manusia sebelum masa lahir secara alami.

Abortus telah menjadi masalah internasional dan berbagai pendapat telah diajukan baik yang menyetujui maupun yang menentang. Factor-faktor yang mendorong abortus antara lain karena :

- Pemerkosaan

- Pria tidak bertanggung jawab

- Demi kesehatan mental

- Kesehatan tubuh

- Tidak mampu merawat bayi

- Usia remaja

- Masih sekolah

- Ekonomi

(KR, 1994)

Yang dimaksud dengan kelahiran yang diluar secara alami meliputi kelahiran yang diperoleh dengan tidak melalui hubungan intim suami istri sebagai mana mestinya. Misalnya melalui fertilisasi invirto (bayi tabung).

Di Indonesia setiap tahun terdapat 2,6 juta kasus aborsi. Sebanyak 700.000 pelaku aborsi itu adalah remaja atau perempuan berusia di bawah 20 tahun. Penyebab utamanya adalah kurangnya perlindungan terhadap perempuan. ”Survei Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2006 menyebutkan, aborsi mengakibatkan 68.000 kematian. Aborsi menyebabkan jutaan perempuan terluka dan menderita cacat permanen,” (Atwirlany). Menurut Deputi III Perlindungan Perempuan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Endang Susilowati Poerjoto mengatakan, sebagian besar pelaku melakukan aborsi lantaran kehamilan tidak diinginkan. Hal itu menunjukkan salah satu faktor utama aborsi adalah kurangnya perlindungan terhadap perempuan.

Kerap kali perempuan, terutama remaja putri, mendapat perlakuan tak senonoh dari teman lelaki. Tak jarang mereka mengalami kekerasan seksual dari saudara, tetangga, atau bahkan ayah kandung. Menurut Susilowati, minimnya perlindungan perempuan mengakibatkan remaja putri kecanduan narkoba. Pada 2007, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan mencatat angka kematian penyalahgunaan narkoba 15.000 orang per tahun. ”Kementerian telah memfasilitasi 135 kabupaten dan kota di Indonesia mendirikan badan perlindungan perempuan guna mencegah agar kasus itu tidak bertambah dan merambah ke desa-desa,” katanya. Setiap pemerintah daerah, lanjutnya, perlu membuat kebijakan berbasis kesetaraan jender. Mereka harus menerapkan zero tolerance policy untuk tindak kekerasan terhadap perempuan.

“Dari penelitian who, diperkirakan 20-60 persen aborsi di indonesia adalah aborsi disengaja (induced abortion). penelitian di 10 kota besar dan enam kabupaten di indonesia memperkirakan sekitar 2 juta kasus aborsi, 50 persennya terjadi di perkotaan. kasus aborsi di perkotaan dilakukan secara diam-diam oleh tenaga kesehatan (70%), sedangkan di pedesaan dilakukan oleh dukun (84%). klien aborsi terbanyak berada pada kisaran usia 20-29 tahun.

Aborsi di indonesia dilarang lewat undang-undang (UU) ri nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan dan juga untuk kalangan muslim lewat fatwa majelis ulama indonesia (MUI) nomor 4 tahun 2005. (tetapi fatwa membolehkan aborsi dalam keadaan darurat di mana nyawa ibu terancam).

Kontroversi Aborsi

Aborsi di Indonesia masih merupakan perbuatan yang secara jelas dilarang, terkecuali jika ada indikasi medis tertentu yang mengakibatkan terancamnya hidup dari sang Ibu. Di dunia Internasional sendiri dikenal dua kelompok besar yaitu pro life (yang menentang aborsi) dan pro choice (yang tidak menentang aborsi) berikut dengan berbagai argumentasi yang melatarbelakanginya.Di Indonesia sendiri, meski aborsi dilarang, namun tetap banyak perempuan-perempuan yang melakukan aborsi. Baik dilakukan berdasarkan indikasi medis tertentu maupun indikasi non medis.

Dalam aborsi, kami cenderung melihatnya dari sisi non moral, karena problem moral haruslah diletakkan dalam koridor moral semata dan tentu bukan dalam koridor moral yang dimasukkan unsur-unsur hukum. Beberapa contoh bagaimana terkadang moral dan hukum, dalam pandangannya, tidak mampu untuk menjawab persoalan persoalan ini.

Contoh A: Seorang perempuan yang diperkosa ternyata mendapatkan kehamilan yang tidak dia inginkan. Perempuan ini merupakan korban perkosaan dalam terminologi adanya kekuatan yang melakukan pembersihan etnis dimana dia adalah salah satu etnis yang hendak disapu bersih.

Contoh B: Seorang perempuan yang diperkosa ternyata mendapatkan kehamilan yang tidak dia inginkan. Perempuan ini merupakan korban perkosaan dalam konteks kejahatan dalam keluarga.

Contoh C: Seorang perempuan yang diperkosa ternyata mendapatkan kehamilan yang tidak dia inginkan. Perempuan ini merupakan korban perkosaan dalam konteks kejahatan di lingkungan kerja. Dia sendiri sudah bersuami dan memiliki anak-anak yang baik dan lucu-lucu

Contoh D: Seorang perempuan yang diperkosa ternyata mendapatkan kehamilan yang tidak dia inginkan. Perempuan ini merupakan korban perkosaan dalam konteks kejahatan biasa. Dia diperkosa karena ada perampok yang memasuki rumahnya.

Contoh E: Seorang perempuan yang hendak melangsungkan perkawinan, ternyata telah hamil sebelum perkawinannya berlangsung. Sementara calon suaminya sendiri kabur entah kemana dan tak dapat dilacak kembali

Jika perempuan-perempuan ini diharuskan memelihara kehamilannya, kami yakin dia akan menanggung beban psikologis yang berat dan melahirkan anak yang tidak diinginkan akan merupakan beban dan pukulan kedua yang berat bagi mereka. Dan bisa jadi anak yang dilahirkannya malah tidak diurus dengan baik, baik oleh dirinya maupun keluarganya. Kalau sudah begini terjadi lingkaran kekerasan yang tak ada habisnya

Dari titik ini, terkadang saya berpikir, haruskah aborsi merupakan jalan keluar? dan kalau dia hendak melakukan aborsi, dan bila aborsi tersebut illegal, justru malah akan mengancam kehidupannya sendiri, karena dia akan pergi ke klinik-klinik kelas tiga atau malah ke dukun, seperti beberapa kasus yang terjadi belakangan ini.

· Kematian Dan masalah Yang Terkait

Masalah hukum yang berkaitan denagn kematian antara lain meliputi pernyataan kematian, bedah mayat/otopsi dan donor organ. Kematian dinyatakan oleh dokter dan ditulis secara sah dalam surat pernyataan kematian. Surat pernyataan ini biasanya dibuat beberapa rangkap dan keluarga mendapat satu lembar untuk digunakan sebagai dasar pemberitahuan kepada kerabat serta keperluan ansuransi. Pada keadaan tertentu misalnya untuk keperluan keperluan peradilan, dapat dilakukan bedah mayat pada orang yang telah meninggal.

C. PELINDUNGAN HUKUM UNTUK KEPERAWATAN

Perawat sebagai tenaga professional memiliki akuntabilitas terhadap keputusan dan tindakannya. Dalam menjalankan tugas sehari-hari tidak menutup kemungkinan perawat membuat kesalahan dan kelalaian baik yang disengaja maupun yang tidak sengaja.

Untuk menjalankan praktiknya, maka secara hukum perawat harus dilindungi terutama dari tuntutan malpraktik dan kelalaian pada keadaan darurat. Sebagai contoh, misalnya di amerika serikat terdapat UU yang bernama Good Samaritan Acts yang melindungi tenaga kesehatan dalam memberikan pertolongan pada keadaan darurat. Di Kanada, terdapat UU lalu lintas yang membolehkan setiap orang untuk menolong korban pada setiap situasi kecelakaan, yang bernama Traffic Acts.

Di Indonesia, dengan telah terbitnya UU kesehatan No.23 tahun 1992 memberikan suatu jalan untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah termasuk disini UU yang mengatur praktik keperawatan dan perlindungan dari tuntunan malpraktik. Diberbagai Negara maju dimana tuntutan malpraktik terhadap tenaga professional semakin meningkat jumlahnya, maka berbagai area pelayanan kesehatan telah melindungi para tenaga kesehatan termasuk perawat dengan asuransi liabilitas atau asuransi malpraktik. Seiring dengan perkembangan zaman, tidak menutup kemungkinan dimasa mendatang asuransi malpraktik juga perlu dipertimbangkan bagi semua tenaga kesehatan termasuk perawat di Indonesia.

D. MENCEGAH MASALAH HUKUM

Malpraktik masih menjadi topik dalam dunia kesehatan. Berbagai praktik kesehatan termasuk keperawatan ini sudah diarahkan untuk mencegah terjadinya malpraktik. Berbagai UU praktik kesehatan telah mulai diupayakan untuk memberikan arahan bagi praktik professional dan perlindungan bagi praktik kesehatan. Peradilan profesi semakin banyak dibicarakan bagi pemikir hukum kesehatan (misalnya PERHUKI dan pemerintah) yang nantinya dapat memberikan pengayoman hukum bagi tenaga kesehatan dan bagi masyarakat.

Masalah hukum memang merupakan hal yang kompleks karena menyangkut nasib manusia. Menanggapi hal ini kita jadi ingat slogan lama “mencegah lebih baik dari pada mengobati”. Kiranya mencegah masalah hukum lebih baik dari pada memberikan sanksi hukum. Untuk ini sebagai perawat harus mengetahui prinsip-prinsip dalam mencegah hukum.

Dibawah ini akan dibahas beberapa hal yang dapat dilakukan perawat yang merupakan nurse defender terhadap masalah hukum :

1. Ketahui hukum atau UU yang mengatur praktik anda.

2. Jangan melakuakn apapun yang anda tidak tahu bagaimana melakukannya (bila perlu, pelajarilah caranya).

3. Pertahankan kompetisi praktik anda, penting mengikuti pendidikan keperawatan berkelanjutan.

4. Sebagai penuntut untuk meningkatkan praktik, mendapatkan kritik, dan kesenjangan pengetahuan/keterampilan, lakukan pengkajian diri, evaluasi kelompok, audit dan evaluasi dari supervisor.

5. Jangan ceroboh dalam melakukan praktik keperawatan.

6. Tetap perhatian pada pasien dan keluarganya.

7. Sering berkomunikasi dengan orang lain, jangan menutup diri.

8. Catat secara akurat, objektif dan lengkap, jangan dihapus.

9. Delegasikan secara aman dan absah, ketahui persiapan dan kemampuan orang-orang dibawah pengawasan anda.

10. Bantu pengembangan kebijakan dan prosedur (dalam badan hukum).

11. Ikuti asuransi malpraktik, jika saat ini tersedia.

(Jones, 1993)

E. REGULASI DALAM PRATIK KEPERAWATAN

1. Yang Mendasari Pentingnya Regulasi

Agar melindungi masyarakat dari praktik perawat yang tidak kompeten, karena Konsil Keperawatan Indonesia yang kelak ditetapkan dalam UU praktik keperawatan akan menjalankan fungsinya. Konsil Keperawatan melalui uji kompetensi akan membatasi pemberian kewenangan melaksanakan praktik keperawatan hanya bagi perawat yan mempunyai pengetahuan yang dipersyaratkan untuk praktik. Sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi ini akan meyakinkan masyarakat bahwa perawat yang melakukan praktik keperawatan mempunyai pengetahuan yang diperlukan untuk bekerja sesuai standar. Masyarakat membutuhkan pelayanan keperawatan yang bermutu sebagai bagian integrar dari pelayanan kesehatan, dan memperoleh kepastianhukum kepada pemberian dan penyelenggaraan pelayanan keperawatan.

2. TUJUAN REGULASI

Adapun tujuan dari regulasi adalah sebagai berikut :

* Agar perawat semakin profesional dan proporsional sesuai dengan tanggung jawab yang harus dipenuhi.

* Diharapkan tidak terjadi adanya overlap.

* Menghindari terjadi malpraktik yang kemungkinan dapat terjadi.

* Meningkatkan mutu pelayanan profesinya dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang.

3. KOMPONEN REGULASI

Pertama, keperawatan sebagai profesi memiliki karakteristik yaitu adanya kelompok pengetahuan (body of Knowledge) yang melandasi keperampilan untuk menyelesaikan masalahg dalam tatanan praktik keperawatan; pendidikan yang memenuhi standard an diselenggarakan diperguruan tinggi; pengendalian terhadap stndar praktik; bertanggung jawab dan bertangguang gugat terhadap tindakan yang dilakukan; memilih profesi keperawatan sebagai karir seumur hidup; dan memperoleh pengakuan masyarakat karena fungsi mandiri dan kewenangan penuh untuk melakukan pelayanan dan asuhan keperawatan yang berorientasi pada kebutuhan system klien (individu, keluarga, kelompok dan komunitas).

Kedua, kewenangan penuh untuk bekerja sesuai dengan keilmuan keperawatan yang dipelajari dalam suatu system pendidikan keperawatan yang formal dan terstandar menurut perawat untuk akuntabel terhadap keputusan dan tindakan yang dilakukannya. Kewenangan yang dimiliki berimplikasi terhadap kesediaan untuk digugat, apabila perawat tidak bekerja sesuai standar dan kode etik. Oleh karena itu, perlu diatur system registarasi, lisensi dan sertifikasi yang ditetapkan denga nperaturan dan perundang-undangan. Sistem ini akan melindungi masyarakat dari praktik perawat yang tidak kompeten, karena konsil keperawatan Indonesia yang kelak ditetapkan dalam UU praktik keperawatan akan menjalankan fungsinya. Konsil Keperawatan melalui uji kompetensi akan membatasi pemberian kewenagan melaksanakan praktik keperawatan hanya bagi perawat yang mempunyai pengetahuan yang dipersyaratakan untuk praktik. Sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi ini akan meyakinkan masyarakat bahwa perawat yang melakukan praktik keperawatan mempunyai pengetahuan yang diperlukan untuk bekerja sesuai standar.

Ketiga, perawat telah memberikan konstibusi besar dalam meningkatkan derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari layanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberioan perlindungan hukum, bahkan cendrung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan professional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur, dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu, UU ini memiliki tujuan lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesioan (WHO, 2002).

Keempat, kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan semakin meningkat. Hal ini karena adanya pergeseran paradigm dalam pemberian pelayanan kesehatan, dari model medical yang menitikberatkan pelayanan pada diagnosis penyakit dan pengobatan, ke paradigm sehat yang lebih holistic yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai focus pelayanan (Cohen, 1996). Disamping itu, masyarakat membutuhkan pelayanan keperawatan yang mudah dijangkau, pelayanan keperaweatan yang bermutu sebagai bagian yang integrar dari pelayanan kesehatan, dan memperoleh kepastian hukum kepada pemberian dan penyelenggaraan pelayanan keperawatan.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari makalah yang telah dibahas pada bab sebelumnya adalah sebagai berikut :

1. Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan.

2. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan semakin meningkat.

3. 12 Mei 2008 adalah Hari Keperawatan Sedunia. Di Indonesia, memontum tersebut akan digunakan untuk mendorong berbagai pihak mengesahkan Rancangan Undang-Undang Praktik keperawatan.

4. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) menganggap bahwa keberadaan Undang-Undang akan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat terhadap pelayanan keperawatan dan profesi perawat.

5. Indonesia, Laos dan Vietnam adalah tiga Negara ASEAN yang belum memiliki Undang-Undang Praktik Keperawatan. Padahal, Indonesia memproduksi tenaga perawat dalam jumlah besar.

6. Perawat Indonesia dinilai belum bisa bersaing ditingkat global.

7. Undang Undang Praktik Keperawatan, terlalu terlambat untuk disahkan, apalagi untuk dipertanyakan. Sementara negara negara ASEAN seperti Philippines, Thailand, Singapore, Malaysia, sudah memiliki Undang- Undang Praktik Keperawatan (Nursing Practice Acts) sejak puluhan tahun yang lalu.

8. Tidak adanya undang-undang perlindungan bagi perawat menyebabkan perawat secara penuh belum dapat bertanggung jawab terhadap pelayanan yang mereka lakukan.

9. Konsil keperawatan bertujuan untuk melindungi masyarakat, menentukan siapa yang boleh menjadi anggota komunitas profesi (mekanisme registrasi), menjaga kualitas pelayanan dan memberikan sangsi atas anggota profesi yang melanggar norma profesi (mekanisme pendisiplinan).

10. UU Praktik Perawat, selain mengatur kualifikasi dan kompetensi serta pengakuan profesi perawat, kesejahteraan perawat, juga diharapkan dapat lebih menjamin perlindungan kepada pemberi dan penerima layanan kesehatan di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Rahajo J.Setiajadji. 2002. Aspek Hukum Pelayanan Kesehatan Edisi 1. Jakarta:EGC

http://keperawatanadil.blogspot.com/2007/11/keperawatan-

_______://keperawatanadil.blogspot.com/2007/11/kredensial-praktek-keperawatan.html

_______://www.sukabumikota.go.id/perizinan/Izin_Praktek_Perawat.asp

_______://my.opera.com/ramzkesrawan/blog/show.dml/3792983

_______://my.opera.com/ramzkesrawan/blog/show.dml/3792781

_______://www.tempointeraktif.com/hg/peraturan/2004/04/12/prn,20040412-06,id.html

_______://umisaadah-ums.blogspot.com/2009/03/ruu-praktik-keperawatan.html

_______://www.inna-ppni.or.id/index.php?name=News&file=article&sid=200

_______://www.psikugm2004.co.cc/index.php?option=com_content&view=article&id=49:malpraktek-tenaga-perawat&catid=36:info-keperawatan-terbaru&Itemid=55

_______://genenetto.wordpress.com/2008/05/30/kasus-aborsi-di-indonesia-25-juta-setahun/

_______://www.kapanlagi.com/h/0000079060.html

_______://www.inilah.com/berita/gaya-hidup/2009/06/30/121566/aborsi-di-indonesia-26-juta-pertahun/